Ini 4 Fakta Bahan Makanan Yang Berkelanjutan

- 7 Juni 2024, 09:54 WIB
Bahan makanan yang berkelanjutan
Bahan makanan yang berkelanjutan /Foto: pexels / saturnus99

PR Jateng - Badan Dunia PBB Urusan Pangan atau  Food and Agriculture Organisation (FAO) menyebutkan, sepertiga gas rumah kaca global berasal dari sistem pangan dunia, dihitung mulai dari produksi, pengemasan, distribusi, hingga limbah.

Itu berarti, pilihan kita terhadap suatu bahan makanan sangat berpengaruh terhadap kesehatan bumi. 

Agar bumi tidak semakin panas, seluruh penduduk dunia perlu ikut bertanggung jawab untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca, yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.

Baca Juga: Berikut Daftar 26 Pemain Timnas Inggris di Piala Eropa 2024, Tidak Ada Nama Grealish Hingga Maguire

“Perubahan iklim sudah tidak bisa dicegah, karena sekarang sudah terjadi. Tapi, kita bisa sama-sama memperlambat laju perubahan iklim tersebut. Langkah yang bisa dilakukan adalah mengadopsi pola makan berkelanjutan, termasuk memilih bahan pangan yang juga berkelanjutan," kata CEO dan Co-Founder Food Sustainesia, Jaqualine Wijaya.

Pola makan berkelanjutan, kata Jaqualine, perlu dipandang secara holistik, tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, melainkan dari banyak aspek, termasuk lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Senada dengan Jaqualine, Gema (Founder Males Nyampah) berpendapat, proses produksi pangan sebaiknya tidak membebani generasi sekarang dan generasi yang akan datang, baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Baca Juga: Ernando Ari Meminta Maaf Atas Kesalahannya, Tugas Kita Sebagai Suporter Tetap Memberikan Dukungan Kepadanya

“Kita perlu memikirkan asal atau sumber bahan pangannya, kandungan gizinya, baru kemudian memikirkan limbah dari bahan pangan tersebut,"ungkapnya.

Food waste atau sampah makanan memang menjadi salah satu concern utama Males Nyampah.

Karena itu, Males Nyampah kerap mengunggah konten tentang mengurangi sampah makanan, termasuk cara menyimpan makanan agar lebih awet, pentingnya membeli bahan makanan lokal dan musiman, ajakan membeli roti diskonan, juga ajakan untuk berhenti membuang sampah makanan ke tempat pembuangan akhir (TPA) karena dapat mempercepat perubahan iklim. 

Baca Juga: Warga di Banyumas Adakan Sedekah Bumi Sebagai Ungkapan Rasa Syukur Kepada Allah SWT

Berikut bahan makanan yang masuk dalam kriteria berkelanjutan yaitu:

1.Mudah didapat, harga terjangkau

Makanan yang diproduksi oleh petani lokal merupakan bahan pangan yang ramah lingkungan.

Karena, bahan makanan lokal tidak harus melalui proses perjalanan yang panjang, sebelum kemudian sampai di tangan konsumen.

Baca Juga: UMKM Lebih Tahan Banting, Sekda Jateng Kagum Semangat Peserta Women Ecosystem Catalyst

Berbeda dari pangan impor yang harus melalui jalur distribusi panjang, menggunakan banyak kemasan untuk memastikan keamanannya, dan membutuhkan waktu penyimpanan cukup lama yang berpotensi sebenarnya bisa menurunkan nilai gizi. 

“Keuntungan dari berbelanja produk pangan lokal adalah meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena aksi ini dapat mengurangi jejak karbon, sekaligus mendukung produsen lokal, baik petani maupun nelayan. Keuntungan lainnya adalah produk lokal biasanya berlimpah, mudah sekali didapatkan di sekitar kita, dan harganya sangat terjangkau,” ujar Jaqualine. 

Salah satu kelompok bahan makanan yang mudah didapat adalah buah-buahan yang sedang musim.

Baca Juga: Women Ecosystem Catalyst Pertemukan 20 Perempuan Pengusaha dengan 21 Stakeholder di Kota Semarang

“Pada saat musim panen tersebut biasanya terjadi kelebihan produksi. Misalnya, ketika sedang musim mangga, berbagai jenis mangga mudah ditemukan di mana-mana dengan harga murah. Makin banyak orang membeli mangga yang sedang musim, potensi mangga tersebut menjadi busuk dan kemudian terbuang menjadi lebih kecil. Selain itu, belanja buah yang sedang musim berarti juga membantu petani lokal,” kata Jaqualine. 

"Bahan makanan musiman relatif bertanggung jawab, berkelanjutan dari waktu ke waktu, dan terbukti memberi dampak positif terhadap masyarakat. Selain itu, kita bisa ikut mendukung produk lokal di daerah masing-masing,"tambah Gema.

Misalnya, tak harus memasak nasi dari beras, masyarakat Nusa Tenggara Timur bisa mengonsumsi nasi sorgum, sekaligus menjaga keanekaragaman hayati. 

Baca Juga: BRI Dinobatkan Sebagai Tempat Kerja Terbaik oleh HR Asia

Karena mudah didapat dan harganya murah, kita tidak perlu membeli stok produk lokal dan musiman terlalu banyak.

Belanja secukupnya, sehingga tidak menjadi sampah makanan.

Jika stok habis, kita bisa belanja lagi sesuai kebutuhan. 

Baca Juga: Popsivo Polwan Perpanjang Rekor Unbeaten Usai Kalahkan Pertamina Enduro 3-0 di Proliga 2024 Pekan Kelima

2. Praktik di baliknya berdampak minimal terhadap lingkungan

Praktik penanaman bahan pangan, misalnya padi, yang konvensional masih menggunakan pupuk dari bahan kimia dan pestisida, yang berpotensi merusak tanah.

Bahan kimia tersebut menyumbang jejak karbon.

Di samping itu, lahan pertanian padinya masih ada yang didapatkan dari pembukaan lahan dengan pembakaran hutan.

Baca Juga: Setelah Terima Rekomendasi Nasdem, Cabup Kebumen Lilis Nuryani Ikuti Pembekalan Bacakada PKB dari Cak Imin

Padahal, nasi dari beras masih menjadi sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi. 

“Ada pilihan beras yang ramah lingkungan, yaitu beras organik, yang tidak menggunakan bahan kimia dalam penanamannya dan tidak menggunakan air yang tercemar. Untuk memastikan suatu bahan makanan memang diproduksi secara organik, carilah kemasan yang melekatkan label organik atau sustainable food. Itu berarti bahan pangan tersebut sudah mendapatkan sertifikasi organik. Atau, kalau membeli protein hewani dari daging sapi, carilah yang berlabel grass-fed dan telur berlabel cage-free,” kata Jaqualine.

Tapi, bukankah di Indonesia harga bahan pangan organik masih terbilang tinggi?

Baca Juga: Tunjuk Advokat Desak Kepolisian Segera Tangani Kasus Perampokan Emas di Pati

Jaqualine meyakini, seiring dengan meningkatnya permintaan dan ketersediaan bahan makanan organik di pasaran, perlahan-lahan harganya akan menyesuaikan menjadi lebih terjangkau dan makin mudah diperoleh. 

Berita bagusnya, tidak semua bahan makanan di rumah kita harus berlabel organik.

Sebab, secara alami sejumlah bahan pangan ditanam dan dipelihara dengan cara yang ramah lingkungan.

Baca Juga: Pilkada Banyumas 2024, Kembalikan Formulir Cabup, Rachmat Imanda Dapat Dukungan 27 PAC Gerindra

Misalnya, jamur tidak memerlukan banyak air. Petani jamur juga menggunakan bahan daur ulang pertanian sebagai media tanam jamur, seperti sekam kapas dan tongkol jagung. 

Selain itu, penanaman bayam juga tidak berdampak negatif terhadap persediaan air dan tidak merusak tanah.

Bayam yang harganya murah dan mudah sekali didapat mengandung nutrisi sangat tinggi yang dibutuhkan tubuh.

Baca Juga: Hingga Kini Korban Mengalami Trauma Serius

Ada pula rumput laut yang tidak memerlukan pestisida untuk tumbuh subur.

Bahkan, pertumbuhan rumput laut secara alami dapat menyerap karbon sehingga dapat mengurangi emisi. 

 

3. Berlimpah nutrisi

Baca Juga: PPDB Jateng: Daftar 14 SMA di Kebumen yang Buka PPDB Mulai 11 Juni 2024, Lengkap dengan Daya Tampung Siswa

Dari segi kesehatan, bahan makanan berkelanjutan adalah yang sarat muatan nutrisi.

Menurut Jaqualine, langkah awal yang bisa dilakukan untuk mempraktikkan pola makan berkelanjutan adalah memilih dan mengonsumsi makanan bergizi, bukan melihat dari proses produksi dan distribusi yang dinilai ramah lingkungan.

“Mengonsumsi makanan bergizi merupakan aspek penting dalam pola makan berkelanjutan,” ucap dia.

Baca Juga: Kasus Curanmor di Munjul Purbalingga Terungkap Ada Dua Pelaku, Satu Pelaku Tertangkap, Satu DPO

Dia menyebutkan, terdapat banyak cara untuk mendapatkan asupan makanan yang bergizi tinggi.

Ia mencontohkan, Kementerian Kesehatan merilis panduan makan Isi Piringku.

Panduan ini menganjurkan agar dalam satu piring terdapat 50 persen buah dan sayur, 50 persen karbohidrat dan protein.

Baca Juga: Fakta Menakjubkan! 10 Manfaat Pisang yang Jarang Diketahui Orang

“Untuk memenuhi anjuran porsi buah dan sayur, kita bisa menggunakan bahan makanan lokal yang berbeda jenis, sehingga mendapatkan nutrisi optimal dari berbagai sumber pangan. Jadi, sebaiknya tidak memilih makanan yang itu-itu saja. Keragaman isi piring kita akan mendukung biodiversitas atau keanekaragaman hayati, yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan menjaga kekayaan alam,” kata Jaqualine.

Ia juga menyarankan agar kita menggabungkan protein nabati dan hewani, tetapi sebisa mungkin memperbanyak porsi protein nabati.

“Kita tidak harus menghilangkan daging sama sekali dari menu harian kita. Tidak masalah pula, jika sesekali kita mengonsumsi makanan yang diproses, misalnya sosis. Namun, kombinasikan dengan makanan yang dimasak dengan pemrosesan minimal, misalnya tumis sayuran, dalam porsi lebih banyak,"beberapa Jaqualine.

Baca Juga: Tingkatkan Produksi Tani,Puluhan traktor Dibagikan Untuk Kelompok Tani di Pati

Di Indonesia bahan makanan segar yang musiman biasanya berupa buah-buahan.

Tapi, di negara lain ada yang disebut sayuran musiman.

Misalnya, di Inggris pada bulan Juni sedang musim selada, daun bawang, dan bayam.

Sementara itu, di Amerika Serikat pada bulan Mei yang sedang musim antara lain radish, asparagus, dan buncis.

Baca Juga: 10 Manfaat Sehat Jeruk yang Wajib Diketahui, Bikin Tubuh Sehat dan Kulit Glowing!

Buah atau sayur di musimnya bisa memberikan nutrisi optimal bagi kita. Kenapa demikian? 

Sebab, di musimnya, lewat proses yang alami, bahan makanan tersebut akan mampu membentuk nutrisi yang maksimal, yang dibutuhkan tubuh.

Tambahan benefitnya, kita juga membantu mengurangi sampah makanan dari produk segar yang terbuang karena tidak terjual.

Baca Juga: Hasil Indonesia vs Irak Imbang 0-0, Bagaimana Peluang Indonesia ke Round 3 Kualifikasi Piala Dunia ?

4. Berbahan dasar tanaman

Sejak beberapa tahun belakangan ini, para pencinta lingkungan ramai-ramai mendorong masyarakat untuk mengonsumsi bahan makanan berbahan dasar tanaman (plant-based food).

Sehingga, kemudian orang mulai mempraktikkan urban farming, memanfaatkan lahan sempit di rumah untuk menanam sayuran.

Baca Juga: Sebuah Rumah di Bukateja Purbalingga Kebakaran, Diduga Karena Ini

Tapi, kenapa para pegiat lingkungan menyarankan kita untuk mengurangi konsumsi daging?

Meningkatnya permintaan produk berbahan dasar hewani akan berujung pada terlalu banyaknya lahan yang digunakan untuk produksi.

“Jejak karbon dari produksi bahan pangan hewani bisa mencapai 50 kali produksi bahan pangan nabati,” jelas Jaqualine. 

Baca Juga: Pengumuman! Pemerintah Update Data Penerima Pupuk Bersubsidi Tiap Empat Bulan

Dalam salah satu unggahannya, Gema mengajak kita untuk lebih banyak mengonsumsi tempe daripada daging sapi.

Di unggahan tersebut dijelaskan bahwa nilai protein dalam tempe setara dengan daging sapi, tapi kalori dan lemaknya lebih rendah.

Ditambah lagi, tempe jauh lebih murah dan proses pembuatannya sangat hemat energi. 

Baca Juga: Nutmeg Rafael Struick di Kotak Penalti Irak Nyaris Buka Keunggulan Gol Indonesia di Pertengahan Babak Pertama

“Kita sebaiknya bisa segera beralih dari bahan pangan konvensional menuju bahan pangan berkelanjutan, karena akan membantu kita menuju era baru yang lebih bertanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan bersama,” kata Gema.**

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: PR Jateng


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah